Rabu, 04 Mei 2011

Bahasa Jawa



BAHASA
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.

PENYEBARAN BAHASA JAWA

Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.


Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.




TATA BAHASA

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.


Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan,kedhaton.

Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.

Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.


Sebarkan Virus 13 Budaya Malu



Kamis, 4 Maret 2010. Adalah Bu Wiwik Esti K. BLH (Badan Lingkungan Hidup) Propinsi Jawa Timur berkunjung ke SMAN 10 Malang dalam rangka meninjau kesiapan SMAN 10 Malang untuk Sekolah Adiwiyata tahap berikutnya tingkat nasional. Didampingi para pemandu mengadakan School Touring meninjau Kumbung Jamur, Green House, Kantin UKS, Sumur Resapan, Biopori, Pengolahan Sampah Organik dan Anorganik, Pelaksanaan Program CnC, dan lain-lain.
Dalam acara School Touring tersebut para pemandu mempresentasikan kegiatan-kegiatan lingkungan yang telah dilaksanakan maupun dalam perencanaan, seperti halnya kegiatan siswa Community Service Project yang dilaksanakan para siswa kelas X disaat liburan UAS I kemarin untuk mensosialisasikan pembuatan biopori di rumah-rumah warga sekitar tempat tinggalnya, sosialisasi pemisahan sampah duan, kertas, dan plastik.
Bu Wiwik berpendapat untuk pemilahan sampah itu harus tetap ditegakkan dan lebih banyak aplikasi program Adiwiyata di luar SMAN 10 Malang, seperti yang dilaksanakan oleh SMAN 10 Malang untuk menggandeng SDN Lesanpuro dan SMPN 21 Malang sebagai program imbas Adiwiyata dari SMAN 10 Malang.
Bu Wiwik juga minta agar selalu menyebarkan 13 Budaya Malu yang sudah diikrarkan oleh siswa SMAN 10 Malang, yaitu :
  1. Malu bila ada sampah tidak pada tempatnya.
  2. Malu bila membuang sampah pada tempat yang tidak sesuai.
  3. Malu bila ada tanaman yang tidak terawat.
  4. Malu bila tidak pernah menanam pohon/tanaman.
  5. Malu bila tidak memilah sampah plastic, kertas, dan organik.
  6. Malu bila tidak bisa mengolah sampah organic menjadi pupuk kompos.
  7. Malu bila tidak bisa mendaur ulang sampah kertas dan plastik.
  8. Malu bila membiarkan orang lain membuang sampah sembarangan.
  9. Malu bila tidak membawa kotak makan sendiri dari rumah.
  10. Malu jika minum dan jajan pakai kantong plastik.
  11. Malu bila meninggalkan ruangan dengan lampu dan alat elektronik menyala.
  12. Malu bila membiarkan air kran mengalir percuma.
  13. Malu jika terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor. 
Sekolah ini (SMAN 10 Malang) bagus untuk dijadikan studi banding dari sekolah-sekolah lain yang akan belajar tentang Sekolah Adiwiyata, karena memiliki sejarah dan proses menuju Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional meski sekolah ini baru berdiri sepuluh tahun yang lalu”, demikian kata-kata sambutan dari Bu Wiwik Esti K.



Minta Maaf Dalam Keluarga

 
Dalam lingkup keluarga kecil, misalnya seorang anak melakukan kesalahan, maka ajarkanlah kepada anak untuk terbiasa meminta maaf dan mengingatkan lebih hati-hati agar tidak melakukan kesalahan, lalu maafkanlah kesalahannya, karena biar bagaimana pun nakalnya seorang anak, mereka adalah darah daging keluarga, bahkan salah satu nyawa dari kelangsungan keluarga itu.
Seorang suami melakukan kesalahan kepada istri, budayakanlah meminta maaf, dan memberi maaf. Begitu pun sebaliknya, ibu melakukan kesalahan, budayakan meminta maaf kepadan suami dan memberi maaf kepada suami, atau anak melakukan kesalahan, meski anak belum meminta maaf, budayakanlah meminta maaf dari anak.
Tidak salah jika orang tua minta maaf kepada anak, dan anak lebih wajib memberi maaf bila orang tua minta maaf. Tidak ada yang salah, justru ini akan menjadikan keluarga itu lebih baik dan berwibawa dimasyarakat. Tidak hanya anak yang harus dituntut minta maaf, tetepi orang tua juga demikian, karena biar bagaimana pun, sukses gagalnya anak adalah cerminan sukses-gagalnya orang tua memberi pendidikan.
Budaya maaf sangat penting. Karena itu, saya mengajak semuanya, mari budayakan maaf mulai dari diri kita, meminta maaf dan memaafkan orang lain, karena yang demikian itu adalah lebih baik, dan kita akan menjadi lebih baik dimasyarakat.
Kita akan disenangi banyak orang karena kita begitu ramah dan murah memaafkan, kemana saja kita berada, kita selalu merasa damai karena hati dan jiwa kita tertanam budaya memberi maaf, sehingga apapun yang kita kerjakan membawa manfaat bukan hanya diri sendiri tetapi juga keluarga.
Memberi dan meminta maaf kepada tetangga atau teman sekantor, merupakan cerminan bahagianya sebuah keluarga. Karena umunya, sifat utama masyarakat adalah sifat dalam rumah tangganya sendiri.



Antara Jati Diri Dan Produk Wisata








JATI DIRI
Pemikiran yang muncul bahwa kebudayaan merupakan suatu identitas atau jati diri suatu kelompok masyarakat, etnik atau bangsa, sebenarnya sangat berkait dengan pandangan-pandangan yang bersifat materialisme dan ideologis. Dari sisi materialisme, kelompok masyarakat, etnis atau bangsa, terbentuk berdasarkan satuan geografis tertentu. System ide, system social dan tingkah laku serta teknologi material, terpola secara sama membentuk identitas budaya yang seragam. Sedangkan dari sisi ideologis, identitas budaya ini justru dimunculkan dan disarikan dari suatu kelompok masyarakat, etnis atau bangsa untuk membangun sentimensi dan keterikatan secara emosional, demi kepentingan bersama yang lebih besar.


JATI DIRI DAN PRODUK WISATA
Sebuah fenomena yang sangat menarik, bahwa industri pariwisata saat ini begitu banyak menyita pemikiran, perhatian dan alokasi dana investasi yang cukup besar. Ini dapat dimaklumi, karena industri wisata dapat menghasilkan devisa tanpa harus terkuranginya objek atau produk yang kita jual. Namun sebenarnya, industri pariwisata, tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi belaka, melainkan juga merupakan fenomena budaya yang dahsyat. Secara sederhana, hal ini dapat kita kaitkan dengan kecenderungan suatu proses yang sering kita sebut globalisasi, yang mencairkan batas-batas geografi, administrasi kewilayahan dan budaya. Banyak pakar menyebutkan, bahwa globalisasi telah mengantarkan kita semua pada keseragaman (homogenitas), tetapi pada saat yang sama juga mengantarkan kita pada keberagaman (hiterogenitas).
Globalisasi mengantarkan pada setiap orang untuk dapat mengatakan dan menyatakan bahwa dirinya adalah warga peradaban global yang mendunia. Namun tidak dapat diingkari pada saat yang sama ia justru sedang berproses menjadi individu-individu yang khas dengan gaya hidupnya masing-masing. Dengan interaksi dan komunikasi yang luas dan mendunia tersebut, individu-individu memperoleh keleluasaan dan pilihan-pilihan yang tak berbatas, yang justru mendorong munculnya masyarakat yang individualistic. Gejala yang muncul adalah bahwa mereka memuja pluralisme, perbedaan dan keberagaman. Muaranya tidak lain adalah agar mereka terus memiliki jalan terbuka terhadap pilihan-pilihan, bahkan ‘pilihan antara’ yang tak begitu jelas.
Masyarakat seperti ini tidaklah mempersonalisasi jati dirinya pada ikatan tradisi, ras, etnis, kesamaan identitas budaya dan sebagainya. Namun mereka justru memperoleh jati dirinya melalui gaya hidup dan prestasi, serta kesenangan yang diidamkannya (Friedman, 1994).
Berwisata merupakan salah satu bentuk dari gaya hidup tersebut. Wisata tidak saja memiliki dimensi kesenangan (leasure), tetapi juga pengalaman dan kebanggaan untuk menambah warna dan rasa jati diri yang baru. Pelepasan diri dari lingkungan yang ada, penjelajahan, penjajakan terhadap jati diri yang baru ini secara eksistensial mengantarkan pada suasana kejiwaan yang baru pula. Gejala ini didukung oleh suatu catatan bahwa perjalanan-perjalanan berwisata saat ini cenderung bergeser dari wisata massal ke wisata pribadi.
Dalam kondisi demikian, kekhasan budaya dapat menjadi alternative produk wisata unggulan. Masyarakat individual yang mengalami kejenuhan terhadap keriuhan teknologi, pada umumnya memiliki ketertarikan yang sangat terhadap ‘kekhasan’, ‘keaslian’ dan ‘kesederhanaan’. Sampai di sini, ‘budaya sebagai produk wisata’ memang layak jual. Namun sayangnya, budaya, terutama aspek budaya yang masih hidup di masyarakat, begitu dilabel sebagai potensi dan produk wisata, mau tidak mau akan mengalami gradasi. Pelaku budaya kemudian akan menghitung pula nilai rupiah atau dolar yang tercurah dari wisatawan. Pada hal, tentu tak sekedar untuk itu kita berbudaya.
Memposisikan budaya untuk dijual sebagai produk wisata, hanyalah salah satu bentuk dari pemanfaatan sumberdaya budaya. Pemanfaatan dalam perspektif ini tentu tidak boleh mengesampingkan perspektif lain yang bersifat pendidikan dan ideologis (Ikhlas BP, 2006). Eksploitasi nilai ekonomis dari sumberdaya budaya melalui pariwisata, apabila ternyata bertentangan dengan nilai ilmu pengetahuan dan ideologis, harus segera dihentikan, dan ini tentunya memerlukan kajian lebih mendalam kasus per kasus.

                                           

Bandeng Pedas Sefar Khas Makasar







Makassar tidak hanya dikenal dengan elok ragam budaya. Daerah yang dulunya bernama Ujung Pandang ini juga menyimpan ragam kuliner nan nikmat. Pasti anda pernah mendengar nama-nama seperti Coto Makassar, ikan Pallumarra, nasi goreng merah hingga es Pullu Butung. Bagi anda penikmat kuliner sejati pasti tahu nama-nama itu.

Untuk menikmati ragam menu khas Makssar, tak usah jauh-jauh ke Makassar. Di Jakarta pun banyak resto khusus yang menyajikan kuliner khas kota. Salah satunya, Rumah Makan Pelangi Seafood yang beralamat di jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Resto ini termasuk salah satu dari sekian banyak resto yang menjadi tongkrongan wajib perantau asal Sulawesi Selatan.

Saat memasuki restoran itu, sepintas tak tampak beragam ornamen yang memberi nuansa kental Makassar. Anda mungkin sedikit bingung. Namun, jangan salah, coba perhatikan dengan lagi dengan seksama. Benar saja. Tak lama, seseorang berlogat khas Makassar. Hal itu merupakan salah satu bentuk keunikan tersendiri. Bagi Anda yang mungkin bukan asli bugis agak sedikit takjub dengan cengkok berbeda walau berbahasa Indonesia sekalipun.

Keunikan lain, walau sebagian besar menu merupakan kuliner asli Makassar tapi resto ini juga menyajikan Chinese Food. Maka tak heran bila resto ini diberi nama Pelangi Seafood. Usai asyik menikmati tampilan interior, kini giliran mencicipi menu jagoan resto ini.

Menurut sang pemilik, Vincent, ada dua menu yang menjadi andalan resto Pelangi Sea Food yaitu Ikan Pallumarra dan Nasi Goreng Merah. "Memang kedua menu itu, selalu dipesan. Dari beberapa pengunjung yang saya tanya kebanyakan mereka memesan kedua menu tersebut dengan pertimbangan mengobati rasa rindu dengan masakan kampung halaman," tutur Vincet kepada Republika Online, pekan lalu.

Nasi goreng merah pada dasarnya sama seperti nasi goreng biasa, warna merah pada nasi bukan karena pedas tapi karena saos tomat, dengan toping hati ayam yang sudah digoreng namun diiris kecil-kecil, baso ikan dan rempah-rempah sebagai penyedap rasa.

Warna merah ini merupakan khas daerah Makassar. Cara menikmatinya dengan dibarengi sambel kacang yang encer tetapi pedas. Aroma rempah begitu terasa dilidah. Namun, penikmat kuliner mesti berhati-hati karena rentan tersedak bila belum terbiasa mengkonsumsinya.

Tampilan nasi goreng tak berbeda dengan sajian nasi goreng biasa. Sajian dihiasi dadar telur tepat diatasnya. Keistimewaan dari nasi goreng ini adalah menimbulkan kesan nagih. Sendokan pertama nasi goreng menimbulkan kesan tidak ingin berhenti menikmatinya.

Menu kedua yang wajib anda cicipi adalah ikan Palumarra. Menu berbahan dasar bandeng, rempah-rempah dan tak ketinggalan cabe rawit ini menambah seru pengalaman kuliner bernuansa pedas. Dari tampilan saja cukup menantang, bagaimana tidak sejumlah cabai rawit berukuran besar mengambang ditengah kepungan ikan-ikan bandeng yang sudah masak.

Cara menyajikannya pun cukup unik, menu diletakan dalam sebuah wadah besar seperti khas resto bernuansa tiongkok. Penyajian macam ini memudahkan penikmat kuliner untuk meyantap habis menu ini.

Rasanya, aroma rempah yang terbawa dari kuah menu sudah memberi tanda sajian ini sangat pedas. Kesan amis tidak begitu kentara. Daging ikannya pun sangat empuk. Disarankan bagi yang tidak suka pedas, sebaiknya Anda hanya menikmati ikan bandengnya saja.

Usai, menikmati menu pedas-pedas. Tak salah bila anda memesan es Pallu Butung. Es ini menjamin membuat lidah anda merdeka daro rasa pedas. Karena sajian pisang kepok, tepung beras dan sagu serta ditambahkan es bisa meredam pedas.


Bahan Baku
Sesuai dengan sajiannya yang bernuansa Makassar, Vincent sengaja mendatangkan langsung bahan-bahan utama menu dari Makkasar. Dengan alasan sulit diperoleh di Jakarta, Vincent tidak bisa menyajikan menu dengan asal-asalan."Mereka tahu mana yang asli atau bukan. Sebab itu, saya coba sajikan seasli mungkin,"ujarnya.

Diakui Vincent, kebanyakan pelanggan restonya adalah perantau asal Makassar. Sebabnya, resto ini menjadi ajang nostalgia. Apalagi menjelang akhir pekan, suasana resto tampak ramai dipenuhi pelanggannya.

Tak hanya menyajikan kuliner nan nikmat, resto ini tahu benar kebutuhan pelanggannya. Usai menikmati kuliner, para pelanggan bisa meluangkan waktu sejenak guna merapikah rambut di salon yang berada diatasnya.

Untuk menikmati sajian khas Makassar anda tak perlu khawatir dengan banderol harga selangit. Karena resto Pelangi Seafood menjamin setiap sajian berada pada rentang harga 20 ribu hingga 50 ribu rupiah. Jika Anda penasaran, silakan mencoba.

Ngaret Dalam Masyarakat Agraris







Salah satu hal menarik yang diungkapkan dalam buku Psikologi Terapan yang ditulis oleh Djamaludin Ancok (dosen Fakultas Psikologi UGM) adalah mengenai budaya jam karet di Indonesia. Jam karet diidentifikasikan sebagai perilaku seseorang yang terlambat ketika menghadiri suatu kegiatan yang telah ditentukan waktunya.


ISTILAH GAULNYA NGARET
Jam karet sangat merugikan banyak orang, terutama dalam hal efisiensi waktu. Seluruh kegiatan yang telah dijadwalkan akan kacau, karena akan terjadi overlay alias tumpang tindih Belum lagi, jam karet juga dapat menimbulkan stres, terutama bagi orang-orang yang memiliki tipe kepribadian Tipe A. Tipe kepribadian Tipe A diidentifikasikan sebagai individu yang sangat menghargai waktu, ingin berbuat banyak dalam waktu singkat, dan selalu tergesa-gesa dalam mengerjakan tugas. Individu dengan tipe kepribadian ini juga sangat rentan dengan serangan jantung, hal ini dikaitkan antara kecemasan dengan sistem peredaran darah maupun kardiovaskular.

PETANI = NGARET ?
Dalam buku ini juga di jelaskan penyebab-penyebab seseorang ngaret dalam melakukan pekerjaan. Namun hal yang membuat aku cukup tergelitik adalah ternyata budaya masyarakat agraris mempengaruhi kedisiplinan masyarakat Indonesia terhadap waktu. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini, bahwa masyarakat agraris sangat bergantung pada bidang pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi (salah satu aspek paling vital saat ini). Petani merupakan salah satu profesi yang ada dalam masyarakat agraris. Pekerjaan sebagai petani tidak terlalu menuntut ketepatan waktu. Petani bisa saja pergi ke sawah saat sore, pagi atau pun siang. Ketika memanen petani pun tidak terlau terpaku pada tanggal, dan hari tertentu. Misalnya: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa musim kemarau akan dimulai pada pertengahan bulan April hingga Oktober. Namun petani bisa saja memanen pada bulan Mei ataupun Agustus, tergantung kondisi tanaman yang ia budidayakan. Hal ini berbeda dengan para petani yang berada di negara 4 musim. Musim tanam yang begitu singkat mengharuskan petani untuk melakukan pekerjaan secara cepat agar mendapatkan hasil yang optimal.
Nah kalau dipikir-pikir kayaknya iya juga sih,,tetapi masalahnya, jumlah petani semakin sedikit kok justru budaya ngaret makin membludak? Ck ck ck

Budaya Musik Di Indonesia


Sebuah budaya unik terjadi setiap tahunnya di Indonesia, yang mana secara budaya sangat sakral untuk umat Muslim sehingga tak satupun orang muslim mau melewatkannya. Setelah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan selesai meraka dengan antusias menjalankan budaya ini. Lebaran atau Idul Fitri adalah momen yang paling dinantii, hari di mana semua orang Muslim saling memaafkan kesalahan-kesalahan satu dengan yang lainnya.
Salah satu bentuk untuk merayakan Lebaran adalah pulang kampung atau lebih dikenal dengan mudik. Agar dapat berkumpul lagi dengan orang tua dan keluarga, jutaan orang mudik dari kota, di mana mereka bekerja atau tinggal, seperti Jakarta menuju ke tanah kelahirannya, yaitu desa. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket bus atau kereta, atau bahkan menyewa mobil. Berdesak-desakkan di dalam angkutan umum, berpanas-panasan di atas sepeda motor dan macet berjam-jam di jalanan merupakan kejadian yang selalu terjadi di setiap Lebaran. Bagi mereka, kerepotan, penderitaan dan kesulitan yang dihadapi selama dalam perjalanan pulang kampung tidak dianggap ada setelah mereka bertemu dengan anggota keluarganya. Dalam kenyataannya, perjalanan panjang selama mudik sering menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan kepada keluarga.
Pemudik (migrants) yang berasal dari desa yang sama biasanya melakukan mudik bersama-sama. Perusahaan di mana mereka bekerja menyediakan bis atau mobil sewaan untuk tenaga kerjanya sehingga mereka dapat pulang dengan lebih nyaman dan merasakan semangat kebersamaan. Seminggu atau bahkan sebulan sebelum Lebaran, mobil sewaan, tiket bis, dan kereta api sudah dipesan semua. Setiap orang pergi ke tempat tujuannya masing-masing.
Mudik tidak hanya untuk orang Muslim saja tetapi sudah menjadi tradisi tahunan yang tidak dapat dipisahkan dengan komunitas masyarakat Indonesia. Banyak orang yang bekerja dan tinggal di kota besar mudik karena pada Lebaran mereka mendapat liburan yang panjang. Biasanya, mereka akan mengunjungi dan mendoakan leluhurnya yang sudah meninggal di makam. Mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam aspek spiritual, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota.
Orang-orang yang bekerja jauh dengan keluarganya di kota besar sering merasa ada yang kurang dalam hidupnya dan ‘kekurangan sesuatu’ ini dapat ditemukan kembali pada waktu mereka pulang kampung. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi tradisi tahunan, juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa kehilangan bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.
Penduduk di kota besar bertambah setiap tahunnya ketika para pemudik kembali ke kota dengan membawa saudara atau kerabatnya ke kota. Cerita tentang kesuksesan hidup di kota membuat saudara, anggota keluarga, dan bahkan teman terpengaruh untuk meninggalkan keluarga dan desanya dan mengadu nasib di kota besar, dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.