JATI DIRI
Pemikiran yang muncul bahwa kebudayaan merupakan suatu identitas atau jati diri suatu kelompok masyarakat, etnik atau bangsa, sebenarnya sangat berkait dengan pandangan-pandangan yang bersifat materialisme dan ideologis. Dari sisi materialisme, kelompok masyarakat, etnis atau bangsa, terbentuk berdasarkan satuan geografis tertentu. System ide, system social dan tingkah laku serta teknologi material, terpola secara sama membentuk identitas budaya yang seragam. Sedangkan dari sisi ideologis, identitas budaya ini justru dimunculkan dan disarikan dari suatu kelompok masyarakat, etnis atau bangsa untuk membangun sentimensi dan keterikatan secara emosional, demi kepentingan bersama yang lebih besar.
JATI DIRI DAN PRODUK WISATA
Sebuah fenomena yang sangat menarik, bahwa industri pariwisata saat ini begitu banyak menyita pemikiran, perhatian dan alokasi dana investasi yang cukup besar. Ini dapat dimaklumi, karena industri wisata dapat menghasilkan devisa tanpa harus terkuranginya objek atau produk yang kita jual. Namun sebenarnya, industri pariwisata, tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi belaka, melainkan juga merupakan fenomena budaya yang dahsyat. Secara sederhana, hal ini dapat kita kaitkan dengan kecenderungan suatu proses yang sering kita sebut globalisasi, yang mencairkan batas-batas geografi, administrasi kewilayahan dan budaya. Banyak pakar menyebutkan, bahwa globalisasi telah mengantarkan kita semua pada keseragaman (homogenitas), tetapi pada saat yang sama juga mengantarkan kita pada keberagaman (hiterogenitas).
Globalisasi mengantarkan pada setiap orang untuk dapat mengatakan dan menyatakan bahwa dirinya adalah warga peradaban global yang mendunia. Namun tidak dapat diingkari pada saat yang sama ia justru sedang berproses menjadi individu-individu yang khas dengan gaya hidupnya masing-masing. Dengan interaksi dan komunikasi yang luas dan mendunia tersebut, individu-individu memperoleh keleluasaan dan pilihan-pilihan yang tak berbatas, yang justru mendorong munculnya masyarakat yang individualistic. Gejala yang muncul adalah bahwa mereka memuja pluralisme, perbedaan dan keberagaman. Muaranya tidak lain adalah agar mereka terus memiliki jalan terbuka terhadap pilihan-pilihan, bahkan ‘pilihan antara’ yang tak begitu jelas.
Masyarakat seperti ini tidaklah mempersonalisasi jati dirinya pada ikatan tradisi, ras, etnis, kesamaan identitas budaya dan sebagainya. Namun mereka justru memperoleh jati dirinya melalui gaya hidup dan prestasi, serta kesenangan yang diidamkannya (Friedman, 1994).
Berwisata merupakan salah satu bentuk dari gaya hidup tersebut. Wisata tidak saja memiliki dimensi kesenangan (leasure), tetapi juga pengalaman dan kebanggaan untuk menambah warna dan rasa jati diri yang baru. Pelepasan diri dari lingkungan yang ada, penjelajahan, penjajakan terhadap jati diri yang baru ini secara eksistensial mengantarkan pada suasana kejiwaan yang baru pula. Gejala ini didukung oleh suatu catatan bahwa perjalanan-perjalanan berwisata saat ini cenderung bergeser dari wisata massal ke wisata pribadi.
Dalam kondisi demikian, kekhasan budaya dapat menjadi alternative produk wisata unggulan. Masyarakat individual yang mengalami kejenuhan terhadap keriuhan teknologi, pada umumnya memiliki ketertarikan yang sangat terhadap ‘kekhasan’, ‘keaslian’ dan ‘kesederhanaan’. Sampai di sini, ‘budaya sebagai produk wisata’ memang layak jual. Namun sayangnya, budaya, terutama aspek budaya yang masih hidup di masyarakat, begitu dilabel sebagai potensi dan produk wisata, mau tidak mau akan mengalami gradasi. Pelaku budaya kemudian akan menghitung pula nilai rupiah atau dolar yang tercurah dari wisatawan. Pada hal, tentu tak sekedar untuk itu kita berbudaya.
Memposisikan budaya untuk dijual sebagai produk wisata, hanyalah salah satu bentuk dari pemanfaatan sumberdaya budaya. Pemanfaatan dalam perspektif ini tentu tidak boleh mengesampingkan perspektif lain yang bersifat pendidikan dan ideologis (Ikhlas BP, 2006). Eksploitasi nilai ekonomis dari sumberdaya budaya melalui pariwisata, apabila ternyata bertentangan dengan nilai ilmu pengetahuan dan ideologis, harus segera dihentikan, dan ini tentunya memerlukan kajian lebih mendalam kasus per kasus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar